Senin, 14 September 2020

Setiap orang memiliki parameter yang bervariasi dalam melihat, meneliti dan menghadapi masalah.


Rasanya tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak punya masalah setiap harinya. Saat matahari mulai terbenam, bahkan sebelum virus Corona menyerang Indonesia Raya ini saja banyak orang yang menjalani harinya dengan masalah. pulang kemalaman, lupa maghrib, tak sempat nyapu halaman, lupa bawa dompet ke pasar, sudah kerja bener-bener dibilang makan gaji buta, sekolah anak berkali-kali dibatalkan masuk tatap muka( ini jelas juga ngrepotke guru merancang materi ajar), anak mulai jenuh dengan tugas-tugas daring, anak tak semangat olahraga dengan bapaknya, jatuh tempo angsuran sudah dekat belum ada duit, mau ambil koperasi kok ternyata pinjaman masih banyak, kuota internet ternyata habis nunggu bantuan dari pemerintah belum juga turun, kendaraan saatnya pajak e..harus mutasi lagi, pajak PLN+PAM juga belum bayar, Saudara mau mantu harus bantu materi dan sebagainya. Masalah seakan menjadi makanan sehari-hari yang mengenyangkan perut kita. Kalau tidak ada masalah, kita tidak hidup. Hanya saja kita kadang lupa bahwa semua orang punya masalah sendiri-sendiri dan cara yang berbeda untuk menyelesaikannya. Namun tidak jarang kita suka menyamakan kondisi mereka dengan kita. Seolah-olah kita paham betul akan apa yang mereka hadapi.

Kita kadang lupa bahwa semua orang punya masalah sendiri-sendiri dan cara yang berbeda untuk menyelesaikannya.


Ingat, setiap orang memiliki parameter yang bervariasi dalam melihat, meneliti dan menghadapi masalah. Terdapat variabel-variabel tertentu untuk mengukur besar-kecilnya masalah. Tergantung dari masing-masing pribadi itu sendiri. Tergantung dari sudut pandang siapa. Contohnya saja, ketika ada satu masalah Toko kelontong dan mebelnya sepi pembeli. Bagi mereka yang hidupnya berkecukupan istilahnya uang belum habis sudah ada lagi, mungkin kondisi macam itu tidak menjadi masalah besar. Tapi coba bayangkan jika ada seseorang yang sedang pas-pasan dan faktor sepinya pembeli tersebut menjadi beban baginya untuk bagaimana cara mengatur ulang rencana-rencana yang sudah dibuat. Akan jadi masalah besar, bukan? Itulah mengapa semakin dewasa kita harus belajar untuk tidak menilai satu masalah selalu dengan sudut pandang kita sendiri, membuat asumsi, dan prediksi kita untuk orang lain. Jika memang kita dibutuhkan untuk memberikan pandangan, pertama-tama posisikanlah diri pada situasi orang tersebut.

Sudah membudaya memang di negara kita tentang bagaimana banyak orang ingin ikut campur dalam masalah orang lain keppo lu. Sistem kekeluargaan yang diterapkan seringkali membuat kita ingin ikut terlibat dalam masalah orang lain. Bermaksud membantu meski sebenarnya secara tidak sadar kita sedang memainkan peran sebagai pahlawan. Tidak salah. Hanya untuk beberapa kasus kita harus tahu batasan kapan perlu memberikan pendapat kapan harus menjadi pendengar yang baik saja. Merasa tidak kalau kita juga pernah berusaha memberikan tanggapan yang justru membuat orang tersebut berpikir negatif?

Semakin dewasa kita harus belajar untuk tidak menilai satu masalah selalu dengan sudut pandang kita sendiri, membuat asumsi, dan prediksi kita untuk orang lain.

Berawal dari fenomena ini di mana saya yakin sebagian orang mengalaminya tapi enggan membicarakannya, tercetuslah ide untuk menuliskannya dalam sebuah curhatan ra pati penting ini. Dalam setiap kata dan kalimat dalam medsos yang sering kali di posting pun terdapat curahan hati yang membahas betapa semua orang punya masalah dan kita tidak perlu berusaha menjadi orang yang lebih dari mereka untuk memberikan inspirasi. Tidak perlu menjadikan diri lebih menderita, lebih sedih atau bahkan lebih baik dari mereka yang sedang bermasalah. Meskipun begitu, saya tidak berniat untuk memaksakan siapapun untuk dapat sependapat dengan saya. Saya hanya ingin menuangkan cara saya melakukan terapi berdamai lewat menulis kata demi kata.

Orang-orang yang merespon tulisan ini seakan menjadi narasumber atas fenomena ini. Mereka merasa terwakili dengan ungkapan-ungkapan yang saya jalin dari satu contoh masalah ke masalah lain dengan bahasa yang mudah dicerna. Ternyata banyak orang yang merasakan seperti saya. Hanya ingin didengarkan namun tak sedikit yang ingin mencoba menjadi pahlawan untuk mengeluarkan saya dari masalah. Padahal saya percaya bahwa semua orang sebenarnya sudah punya jawaban masing-masing terhadap masalahnya. Mereka hanya ingin menemukan respon atas apa yang hendak menjadi keputusannya. Kalau dipikir-pikir lagi, kita tidak berhak untuk mempengaruhi keputusan seseorang. Terutama saat mereka tidak meminta suara kita untuk masuk ke dalam pikirannya. Maka dari itu ada baiknya kita bertanya terlebih dahulu apakah orang tersebut perlu ditanggapi atau tidak. Kemudian jangan sampai mengajak berdebat dengan mempertahankan opini. Berdiskusi. Itu kuncinya mencegah pertentangan.

Tidak perlu menjadikan diri lebih menderita, lebih sedih atau bahkan lebih baik dari mereka yang sedang bermasalah


Sebaliknya, ketika kita bermasalah dan bercerita pada orang lain kita harus memahami bahwa terdapat konsekuensi dari hal ini. Mungkin saja respon dari orang tersebut tidak sesuai dengan pemikiran kita. Mungkin saja orang tersebut tidak akan membuat kita merasa lebih baik. Kita tidak bisa mengendalikan orang lain untuk mendebat atau tidak saat kita mulai bicara. Mereka berasal dari latar belakang yang berbeda di mana memiliki pemahaman tersendiri soal kehidupan. Meski bukan berarti kita jadi harus tidak berani mengungkapkan sesuatu, yang perlu kita lakukan hanyalah lebih selektif. Harus tahu siapa lawan bicara kita. Apakah dia memang menjadi orang yang tepat untuk mendengarkan keluh kesah kita atau dia cukup mengonsumsi informasi tertentu saja. Jika memang terdapat argumen, ya sudah diterima. Dijadikan pelajaran bahwa lain kali mungkin kita bisa memilah masalah yang mana dan untuk diceritakan ke siapa. Jangan memaksa dia harus memberitahu solusi sesuai harapan kita. Dah gitu aja..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ALTAZIA ACHMAD. D

Karakter tertutup identik dengan kepribadian introvert (kebalikan ekstrovert). Meskipun begitu, introvert tidaklah sama dengan antisosial ya...